Thursday, May 10, 2012

Opiniku


KERAWANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA
By: Sagarmatha

            Presiden Soekarno, ketika pidato peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian UI (sekarang IPB),  mengatakan bahwa masalah persedian pangan merupakan hidup-matinya bangsa. Itu dahulu, 60 tahun lalu. Sekarang, dengan jumlah penduduk di atas 237 juta jiwa, masalah kerawanan pangan di Indonesia menjadi perkara yang sangat serius.
Isu kerawanan pangan memang bukan pepesan kosong. Beberapa fenomena menjelaskan hal itu. Menurut data PBB pada Oktober 2011 jumlah penduduk dunia mencapai tujuh milyar jiwa. Jumlah itu diprediksi meningkat 35% pada 2050 sehingga menjadi 9,5 milyar. Indonesia sendiri kini sudah 237 juta jiwa dan jika tidak dikendalikan akan meningkat menjadi 475 juta jiwa pada 2054.
Selanjutnya, FAO menunjukkan fakta yang mengejutkan. Menurut lembaga pangan dan pertanian PBB ini, akibat kerawanan pangan, jumlah orang yang lapar saat ini mencapai 1,02 milyar orang. Riset FAO tersebut menyebutkan, 65 % kelaparan di dunia disumbangkan oleh tujuh negara salah satunya Indonesia.
Di samping masalah-masalah tersebut, kita juga mengalami tantangan pembangunan pertanian. Pertama, konversi lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa. Pada umumnya penggunaan lahan untuk pertanian kalah bersaing dengan penggunaan non-pertanian yang memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi. Konversi ini terjadi akibat kebutuhan tanah untuk pemukiman, perluasan jalan raya, dan pengembangan kawasan industri. Kedua, ketersediaan air yang terus menurun. Hal ini disebabkan meningkatnya penggunaan air, baik itu air tanah maupun air permukaan. Peningkatan penggunaan air tersebut disebabakan oleh  pesatnya pertumbuhan penduduk dan industri. Ketiga, perubahan iklim.
Melihat masalah-,masalah tersebut, mau tidak mau pemerintah harus bekerja lebih keras. Diperlukan solusi yang berkelanjutan, bukan hanya solusi jangka pendek seperti impor bahan pangan. Jika negara gagal memberi makan kepada rakyatnya, maka kedaulatan negara akan runtuh. Karena dalam perspektif ketahanan nasional, ketahanan pangan dan energi menjadi dasar kemandirian, tidak boleh tergantung dari bangsa lain.
Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan pangan, maka inovasi teknologi mau tak mau menjadi kebutuhan. Teknologi rekayasa genetikapun menjadi pilihan. Rekayasa genetika memiliki potensi sebagai teknologi yang ramah lingkungan dan dapat membantu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang tidak dapat dipecahkan secara kovensional.
            Sejatinya produk rekayasa genetika sudah dihasilkan di Indonesia. Sejak 1999 beberapa vaietas rekayasa genetika telah dinyatakan aman bagi lingkungan. Produk tersebut seperti jagung toleran herbisida, jagung tahan hama, kedelai toleran herbisida, kapas tahan hama, dan kapas toleran herbisida. Pada tahun 2010 sudah terdapat 148 juta hektar lahan pengembangan genetically modified organism (GMO) (Republika 21/10/2011).
            Beberapa peneliti di Indonesia juga sudah mengembangkan tanaman transgenik. LIPI bekerjasama dengan BB Biogen mengembangkan padi tahan penggerek batang, padi tahan penyakit blast, padi tahan kering. Pun demikian peneliti di berbagai universitas juga mengembangkan tanaman transgenik. UNS dengan padi tahan tungro, Unud dengan kedelai dengan produktivitas tinggi dengan peningkatan kandungan albumin, IPB dengan kentang tahan virus PVY, tahan jamur, dan tahan cacing nematoda, UGM dengan kubis tahan hawar daun. Tidak ketinggalan pihak swasta dengan mengembangkan tebu dengan kandungan gula tinggi, juga PTPN XI dengan tebu tahan kekeringan. (Kompas 20/10/2011).
            Di samping hal positif tersebut, tanaman transgenik bukan tidak mempunyai potensi resiko. Beberapa potensi resiko dari tanaman transgenik seperti: bahaya terikutnya allergen atau faktor anti nutrisi, kemungkinan terlepasnya transgen ke kerabat liarnya, tanaman transgenik dengan gen resistensi antibiotik akan menimbulkan resistensi antibiotik pada ternak atau manusia, terjadi resistensi dari hama dan penyakit terhadap toksin yang dihasilkan, dan resiko pengaruh toksin tersebut terhadap organisme bukan target.
            Dalam rangka pengaturan keamanan hayati dan keamanan pangan suatu produk  pertanian hasil rekayasa genetika, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No: 61/2011. Peratuaran ini mengatur tentang prosedur pengujian, penilaian, pelepasan, dan penarikan varietas rekayasa genetika (GMO). Peraturan ini merupakan instrumen untuk melengkapi kewajiban Balitbang, di dalam budidaya tanaman, termasuk tanaman hasil rekayasa genetika. Dengan keluarnya Permentan ini, diharapkan pemerintah akan mempercepat proses perizinan, uji lingkungan, dan uji teknis terhadap produk-produk hasil rekayasa genetika.
            Penerapan teknologi selalu memiliki dampak positif dan negatif. Demikian pula dengan rekayasa genetika. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian dari dua sisi pengembangan rekayasa genetika, yaitu sisi positif dan negatif,  Keuntungan yang didapat tidak boleh mengabaikan kemungkinan resiko yang mungkin muncul dari produk rekayasa genetika. Namun yang paling penting semua usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan tidak boleh mengabaikan  kesejahteraan petani.

3 comments:

Arsitek Peradaban said...

Siapppp !!! Kita adalah sekawanan yang menjelma menjadi sebuah buih kekeluargaan, tanpa harus dipilah-pilih.

Sagarmatha said...

Tulisan di atas adalah juara III lomba menulis Artikel/opini di koran dalam rangka peletakan batu pertama gedung Faperta @ Baranangsiang oleh Bung Karno a.k.a. 60 tahun peringatan pendidikan tinggi pertanian di Indonesia.

Arsitek Peradaban said...

itu ente dikasih sumber referensinya kalo bisa men... (kalo emang ada yang ngutip) :)