Saturday, May 12, 2012

Menggapai Puncak Ciremai


          Saya bersama tiga orang kawan, Imam, Latif, dan Fahmi harus mengurus izin dulu sebelum mendaki. Kami harus mempersiapkan fotokopi tanda pengenal dan mengisi formulir pendakian di Pos PPGC (Pengelola Pendakian Gunung Ciremai)-Linggarsana. Linggarsana dekat dengan desa Linggarjati. Di Linggarjati terdapat Museum Linggarjati, tempat berlangsungnya perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1946. 

          Menuju lokasi ini dari Jakarta, Jumat 28 Oktober 2011. Menggunakan kereta ekonomi jurusan Purwakarta. Berangkat menjelang senja. Cos kita ketinggalan kereta Tegal Arum. Sampai di Stasiun Purwakarta sekira bakda Isya. Perjalanan dilanjutkan menggunakan angkot menuju pertigaan sebelum masuk tol Cikampek. Emm apa yah namanya? Aku lupa. Pokoknya yang sering masuk televisi saat mudik hari raya. Lalu naik bis jurusan terminal Cirebon.


          Setelah dikocok-kocok perutnya sama bis malam, akhirnya sampai di Cirebon kira-kira tengah malam. Masjid menjadi tujuan pertama kita. Menginap.

          Pagi hari kami harus membeli  kompor baru. Yang lama ketinggalan di kereta ekonomi Bogor-Jakarta. Beruntung ada teman backpackerindonesia mau nemenin kita mencari kompor. Menjelang siang kami berangkat menggunakan Elf menuju pertigaan Cilimus Kuningan. Nah dari sini kita bisa naik angkot atau jalan kaki sejauh 3 km menuju Pos PPGC-Linggarsana untuk mengurus izin mendaki. 

          Sebelum petualangan dimulai, hayuk tengok dulu secuil tentang gunung tertinggi di Jawa Barat ini. 

          Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif tipe A (gunung api magmatik yang masih aktif sejak tahun 1600), masuk dalam zona sesar Cilacap-Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur. Gunung tertinggi di Jawa Barat ini merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama adalah suatu gunung api Pleistosin yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisma Pleistosin di atas batuan tersier. Vulkanisma generasi kedua ialah vulkanisma Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera Gegerhalang. Vulkanisma generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Puncaknya mempunyai dua kawah (barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250 meter. Gunung Ciremai tercatat meletus pertama kali pada tahun 1698 dan terakhir kali pada tahun 1937.

          Sejak 2004, status Gunung Ciremai telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Taman nasional ini memiliki luas 15.500 Ha. Masuk dalam wilayah kabupaten Kuningan dan Majalengka. Kawasan ini berfungsi sebagai daerah resapan air dan sumber mata air. Potensi sumberdaya airnya meliputi 43 sungai dan 156 sumber mata air. Kawasan ini menjadi habitat asli satwa langka dan juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, serta fenomena alam yang sangat eksotis.
 
          Menurut penelitian Rika Sandra Dewi (2006), ditemukan 78 jenis burung pada habitat hutan primer, hutan sekunder, dan kebun. Pada lokasi penelitian ditemukan 9 jenis burung endemik Pulau Jawa yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Takur Batutut (Megalaima corvina), wergan Jawa (Alcippe pirrhoptera), Kipasan-Ekor merah (Rhipidura phoenicura), Kipasan Bukit (Rhipidura euryura), Burung-Madu gunung (Acthopyga eximia), Burung-Madu Jawa (Acthopyga mysticalis), Cica Matahari (Crocias albononatus), dan Tesia Jawa (Tesia superciliris

          Dengan memanggul ransel yang beratnya sekira 25 kg, petualangan dimulai. Melewati areal persawahan dan hutan pinus, hingga sampai di pos I, mata air Cibunar (750 mdpl). Hanya di pos inilah terdapat sumber air, jadi kita mengambil air banyak-banyak. Kita enggak mau kehabisan air di tengah perjalanan, gara-gara kurang persiapan. Begitulah wanti-wanti dari kamitua gunung Ciremai.
 
Masih ada sepuluh pos lagi sebelum sampai ke puncak Ciremai. Pos-pos tersebut adalah Leuweung Datar(1.200 mdpl), Condang Amis (1.300 mdpl), Kuburan Kuda (1.380 mdpl), Pangalap (1.600 mdpl), Tanjakan Seruni (1.750 mdpl), Tanjakan Bapatere (1.950 mdpl), Batu Lingga (2.250 mdpl), Sangga Buana I (2.350 mdpl), Sangga Buana II (2.500 mdpl), dan Pangasinan (2.750 mdpl).

Dari Pos-pos tersebut yang paling berat kami lalui adalah Tanjakan Bapatere (1.950 mdpl). Tanjakan ini sangat terjal dan curam. Jalurnya menanjak dan terputus. Kemiringannya bisa mencapai 70 derajat, sehingga tangan dan kaki kami harus bekerja sekaligus. Hal ini juga diamini oleh rekan pendaki lain saat bertemu di puncak. Parahnya lagi kita melaluinya saat malam hari. Beruntung kita membawa dua buah senter. Meski penerangan apa adanya tapi itu sangat membantu kita.

Sekira pukul 21:00 WIB, kami sampai di pos Batu Lingga (2.250 mdpl). Di sini kami mendirikan tenda. Seraya beristirahat kami memasak nasi, mi goreng, dan kopi. Dinamakan Batu Lingga karena dulu terdapat batu besar tempat Sunan Gunung Jati berkhalwat. Alkisah, dahulu Wali Songo mendaki gunung Ciremai, dan karena Sunan Gunung Jati sudah kelelahan, dan tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, maka ia beristirahat di sini, sedangkan wali-wali yang lain melanjutkan pendakian ke puncak.  Kini batu tersebut sudah tidak ada. Konon, menurut penduduk setempat batu itu lenyap secara misterius.

Ada pengalaman menarik ketika kami pagi-pagi hendak membongkar tenda. Di belakang tenda kami ternyata ada batu nisan tanpa jasad. Bentuknya kotak berbahan marmer ukurannya sekira monitor komputer. Di situ tertulis nama seorang wanita. Entah siapa aku lupa namanya. Kami berempat dibuat merinding jadinya. Bagaimana jika kami tahu saat malam, sebelum mendirikan tenda? Mungkinkah kami bisa tidur?

Setelah matahari terbit kami melanjutkan pendakian ke puncak. Jalur menuju puncak ini berupa hutan pegunungan sub alpin, dengan vegetasi yang khas seperti Edelweis dan Cantigi. Ada juga tanaman semak, sejenis murbei yang  buahnya berwarna orange dan dapat dimakan. Di jalur ini kita harus hati-hati karena medannya berupa batu-batuan vulkanik, kerikil, dan pasir yang mudah longsor. Apalagi saat musim hujan karena merupakan jalur air.

Di pos Pangasinan kami rehat sebentar untuk sarapan. Menu mie rebus dan sossis instan jadi pengisi energi kami. Di pos ini datar dan dapat memuat sekira 4-5 tenda. Pemandangan cakrawala biru dan siluet awan di pagi hari memesona hati.   

Dengan semangat baru, hasilnya pukul 09:30 WIB kami sampai di Puncak Panglongokan (3.027 mdpl). Pemandangannya sungguh memesona. Kawah kembar dengan dinding batu cadas kokoh berwarna kuning tanah. Pada beberapa bagian dinding kawah tumbuh kembang Edelwies (Anaphalis javanica) dan Cantigi (Erica sp.). Kembang-kempis kabut yang terjadi tiap beberapa menit membuat suasana menjadi misterius. Kami seolah disihir. Menembus dimensi lain. Memasuki portal ruang dan waktu yang berbeda.

Kemudian kami berjalan ke kiri dari puncak Panglongokan. Mengelilingi setengah kawah hingga sampai di jalur Palutungan. Di sini kami bertemu rekan-rekan pendaki dari Kuningan. Tidak lupa kami mengabadikan momen-momen di puncak tertinggi Jawa Barat ini. Narsis. Tapi dalam hati kami mengakui keagungan Ilahi. Kami merendah di ketinggian.





No comments: