KERAWANAN
PANGAN DAN TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA
By: Sagarmatha
Presiden
Soekarno, ketika pidato peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian UI
(sekarang IPB), mengatakan bahwa masalah
persedian pangan merupakan hidup-matinya bangsa. Itu dahulu, 60 tahun lalu. Sekarang,
dengan jumlah penduduk di atas 237 juta jiwa, masalah
kerawanan pangan di Indonesia menjadi perkara yang sangat serius.
Isu
kerawanan pangan memang bukan pepesan kosong. Beberapa fenomena menjelaskan hal
itu. Menurut data PBB pada Oktober 2011 jumlah penduduk dunia mencapai tujuh
milyar jiwa. Jumlah itu diprediksi meningkat 35% pada 2050 sehingga menjadi 9,5
milyar. Indonesia
sendiri kini sudah 237 juta jiwa dan jika tidak dikendalikan akan meningkat
menjadi 475 juta jiwa pada 2054.
Selanjutnya,
FAO menunjukkan fakta yang mengejutkan. Menurut lembaga pangan dan pertanian
PBB ini, akibat kerawanan pangan, jumlah orang yang lapar saat ini mencapai
1,02 milyar orang. Riset FAO tersebut menyebutkan, 65 % kelaparan di dunia
disumbangkan oleh tujuh negara salah satunya Indonesia.
Di
samping masalah-masalah tersebut, kita juga mengalami tantangan pembangunan
pertanian. Pertama, konversi lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa. Pada
umumnya penggunaan lahan untuk pertanian kalah bersaing dengan penggunaan non-pertanian
yang memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi. Konversi ini terjadi akibat
kebutuhan tanah untuk pemukiman, perluasan jalan raya, dan pengembangan kawasan
industri. Kedua, ketersediaan air yang terus menurun. Hal ini disebabkan
meningkatnya penggunaan air, baik itu air tanah maupun air permukaan.
Peningkatan penggunaan air tersebut disebabakan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk dan industri.
Ketiga, perubahan iklim.
Melihat
masalah-,masalah tersebut, mau tidak mau pemerintah harus bekerja lebih keras.
Diperlukan solusi yang berkelanjutan, bukan hanya solusi jangka pendek seperti
impor bahan pangan. Jika negara gagal memberi makan kepada rakyatnya, maka
kedaulatan negara akan runtuh. Karena dalam perspektif ketahanan nasional,
ketahanan pangan dan energi menjadi dasar kemandirian, tidak boleh tergantung
dari bangsa lain.
Bersamaan
dengan meningkatnya kebutuhan akan pangan, maka inovasi teknologi mau tak mau
menjadi kebutuhan. Teknologi rekayasa genetikapun menjadi pilihan. Rekayasa
genetika memiliki potensi sebagai teknologi yang ramah lingkungan dan dapat
membantu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang tidak dapat dipecahkan
secara kovensional.
Sejatinya produk rekayasa genetika sudah dihasilkan di Indonesia.
Sejak 1999 beberapa vaietas rekayasa genetika telah dinyatakan aman bagi
lingkungan. Produk tersebut seperti jagung toleran herbisida, jagung tahan hama, kedelai toleran herbisida, kapas tahan hama, dan kapas toleran
herbisida. Pada tahun 2010 sudah terdapat 148 juta hektar lahan pengembangan genetically modified organism (GMO)
(Republika 21/10/2011).
Beberapa peneliti di Indonesia juga sudah mengembangkan
tanaman transgenik. LIPI bekerjasama dengan BB Biogen mengembangkan padi tahan
penggerek batang, padi tahan penyakit blast, padi tahan kering. Pun demikian
peneliti di berbagai universitas juga mengembangkan tanaman transgenik. UNS
dengan padi tahan tungro, Unud dengan kedelai dengan produktivitas tinggi
dengan peningkatan kandungan albumin, IPB dengan kentang tahan virus PVY, tahan
jamur, dan tahan cacing nematoda, UGM dengan kubis tahan hawar daun. Tidak
ketinggalan pihak swasta dengan mengembangkan tebu dengan kandungan gula
tinggi, juga PTPN XI dengan tebu tahan kekeringan. (Kompas 20/10/2011).
Di samping hal positif tersebut, tanaman transgenik bukan
tidak mempunyai potensi resiko. Beberapa potensi resiko dari tanaman transgenik
seperti: bahaya terikutnya allergen
atau faktor anti nutrisi, kemungkinan terlepasnya transgen ke kerabat liarnya, tanaman transgenik dengan gen resistensi
antibiotik akan menimbulkan resistensi antibiotik pada ternak atau manusia,
terjadi resistensi dari hama
dan penyakit terhadap toksin yang dihasilkan, dan resiko pengaruh toksin
tersebut terhadap organisme bukan target.
Dalam rangka pengaturan keamanan hayati dan keamanan
pangan suatu produk pertanian hasil
rekayasa genetika, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
No: 61/2011. Peratuaran ini mengatur tentang prosedur pengujian, penilaian,
pelepasan, dan penarikan varietas rekayasa genetika (GMO). Peraturan ini
merupakan instrumen untuk melengkapi kewajiban Balitbang, di dalam budidaya
tanaman, termasuk tanaman hasil rekayasa genetika. Dengan keluarnya Permentan
ini, diharapkan pemerintah akan mempercepat proses perizinan, uji lingkungan,
dan uji teknis terhadap produk-produk hasil rekayasa genetika.
Penerapan teknologi selalu memiliki dampak positif dan
negatif. Demikian pula dengan rekayasa genetika. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi dan kajian dari dua sisi pengembangan rekayasa genetika,
yaitu sisi positif dan negatif,
Keuntungan yang didapat tidak boleh mengabaikan kemungkinan resiko yang
mungkin muncul dari produk rekayasa genetika. Namun yang paling penting semua usaha untuk mewujudkan ketahanan
pangan tidak boleh mengabaikan
kesejahteraan petani.
3 comments:
Siapppp !!! Kita adalah sekawanan yang menjelma menjadi sebuah buih kekeluargaan, tanpa harus dipilah-pilih.
Tulisan di atas adalah juara III lomba menulis Artikel/opini di koran dalam rangka peletakan batu pertama gedung Faperta @ Baranangsiang oleh Bung Karno a.k.a. 60 tahun peringatan pendidikan tinggi pertanian di Indonesia.
itu ente dikasih sumber referensinya kalo bisa men... (kalo emang ada yang ngutip) :)
Post a Comment