Saya bersama tiga orang kawan, Imam, Latif, dan
Fahmi harus mengurus izin dulu sebelum mendaki. Kami harus mempersiapkan
fotokopi tanda pengenal dan mengisi formulir pendakian di Pos PPGC (Pengelola Pendakian Gunung Ciremai)-Linggarsana.
Linggarsana dekat dengan desa Linggarjati. Di Linggarjati terdapat Museum
Linggarjati, tempat berlangsungnya perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia
pada tahun 1946.
Menuju
lokasi ini dari Jakarta, Jumat 28 Oktober 2011. Menggunakan kereta ekonomi
jurusan Purwakarta. Berangkat menjelang senja. Cos kita ketinggalan kereta
Tegal Arum. Sampai di Stasiun Purwakarta sekira bakda Isya. Perjalanan
dilanjutkan menggunakan angkot menuju pertigaan sebelum masuk tol Cikampek. Emm
apa yah namanya? Aku lupa. Pokoknya yang sering masuk televisi saat mudik hari
raya. Lalu naik bis jurusan terminal Cirebon.
Setelah
dikocok-kocok perutnya sama bis malam, akhirnya sampai di Cirebon kira-kira
tengah malam. Masjid menjadi tujuan pertama kita. Menginap.
Pagi
hari kami harus membeli kompor baru.
Yang lama ketinggalan di kereta ekonomi Bogor-Jakarta. Beruntung ada teman
backpackerindonesia mau nemenin kita mencari kompor. Menjelang siang kami
berangkat menggunakan Elf menuju pertigaan Cilimus Kuningan. Nah dari sini kita
bisa naik angkot atau jalan kaki sejauh 3 km menuju Pos PPGC-Linggarsana
untuk mengurus izin mendaki.
Sebelum
petualangan dimulai, hayuk tengok dulu secuil
tentang gunung tertinggi di Jawa Barat ini.
Gunung
Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif tipe A (gunung api magmatik yang masih aktif
sejak tahun 1600), masuk dalam zona
sesar Cilacap-Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur. Gunung tertinggi di Jawa Barat ini merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama adalah suatu
gunung api Pleistosin yang terletak di
sebelah Gunung Ciremai, sebagai
lanjutan vulkanisma Pleistosin di
atas batuan tersier.
Vulkanisma generasi kedua ialah vulkanisma Gunung
Gegerhalang, yang sebelum runtuh
membentuk kaldera Gegerhalang.
Vulkanisma generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai
yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang,
yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Puncaknya
mempunyai dua kawah (barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250
meter. Gunung Ciremai tercatat meletus pertama kali pada tahun 1698 dan
terakhir kali pada tahun 1937.
Sejak
2004, status Gunung Ciremai telah
ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Taman nasional ini
memiliki luas 15.500 Ha. Masuk
dalam wilayah kabupaten Kuningan dan Majalengka.
Kawasan ini berfungsi sebagai daerah resapan air dan sumber mata air. Potensi
sumberdaya airnya meliputi 43 sungai dan 156 sumber mata air.
Kawasan ini menjadi habitat asli satwa langka dan juga memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, serta fenomena alam yang sangat eksotis.
Menurut
penelitian Rika Sandra Dewi (2006), ditemukan 78 jenis burung pada habitat
hutan primer, hutan sekunder, dan kebun. Pada lokasi penelitian ditemukan 9 jenis burung endemik Pulau Jawa yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi),
Takur Batutut (Megalaima corvina),
wergan Jawa (Alcippe pirrhoptera), Kipasan-Ekor merah (Rhipidura phoenicura), Kipasan
Bukit (Rhipidura euryura), Burung-Madu gunung
(Acthopyga
eximia), Burung-Madu
Jawa (Acthopyga mysticalis), Cica Matahari (Crocias albononatus), dan Tesia Jawa
(Tesia
superciliris)
Dengan
memanggul ransel yang
beratnya sekira 25 kg,
petualangan dimulai. Melewati areal persawahan
dan hutan pinus, hingga sampai di pos I,
mata air Cibunar (750 mdpl).
Hanya di pos inilah terdapat sumber air, jadi kita mengambil air banyak-banyak.
Kita enggak mau kehabisan air di
tengah perjalanan, gara-gara kurang persiapan. Begitulah wanti-wanti dari kamitua
gunung Ciremai.
Masih ada sepuluh pos lagi sebelum sampai ke puncak Ciremai. Pos-pos tersebut adalah Leuweung
Datar(1.200 mdpl), Condang Amis (1.300 mdpl), Kuburan Kuda
(1.380 mdpl), Pangalap (1.600
mdpl), Tanjakan Seruni (1.750
mdpl), Tanjakan Bapatere (1.950
mdpl), Batu Lingga (2.250 mdpl),
Sangga Buana I (2.350 mdpl), Sangga
Buana II (2.500 mdpl), dan Pangasinan (2.750 mdpl).
Dari Pos-pos tersebut yang paling berat kami lalui adalah
Tanjakan Bapatere (1.950 mdpl). Tanjakan ini sangat terjal dan curam. Jalurnya
menanjak dan terputus. Kemiringannya bisa mencapai 70 derajat, sehingga tangan
dan kaki kami harus bekerja sekaligus. Hal ini juga diamini oleh rekan pendaki
lain saat bertemu di puncak. Parahnya lagi kita melaluinya saat malam hari. Beruntung kita membawa dua buah senter. Meski penerangan
apa adanya tapi itu sangat membantu kita.
Sekira pukul 21:00 WIB, kami sampai di pos Batu Lingga (2.250
mdpl). Di sini kami mendirikan tenda. Seraya beristirahat kami memasak nasi, mi
goreng, dan kopi. Dinamakan Batu Lingga karena dulu terdapat batu besar tempat
Sunan Gunung Jati berkhalwat.
Alkisah, dahulu Wali Songo mendaki gunung Ciremai, dan karena Sunan Gunung Jati
sudah kelelahan, dan tidak sanggup lagi melanjutkan
perjalanan, maka ia beristirahat di sini, sedangkan wali-wali yang lain melanjutkan
pendakian ke puncak. Kini batu tersebut
sudah tidak ada. Konon, menurut penduduk setempat batu itu lenyap secara
misterius.
Ada pengalaman menarik ketika kami pagi-pagi hendak membongkar
tenda. Di belakang tenda kami ternyata ada batu nisan tanpa jasad. Bentuknya
kotak berbahan marmer ukurannya sekira monitor komputer. Di situ tertulis nama
seorang wanita. Entah siapa aku lupa namanya. Kami berempat dibuat merinding
jadinya. Bagaimana jika kami tahu saat malam, sebelum mendirikan tenda?
Mungkinkah kami bisa tidur?
Setelah matahari terbit kami melanjutkan pendakian ke puncak.
Jalur menuju puncak ini berupa hutan pegunungan sub alpin, dengan vegetasi yang
khas seperti Edelweis dan Cantigi. Ada juga tanaman semak, sejenis murbei
yang buahnya berwarna orange dan dapat
dimakan. Di jalur ini kita harus hati-hati karena medannya berupa batu-batuan vulkanik, kerikil, dan pasir yang mudah longsor. Apalagi
saat musim hujan karena merupakan jalur air.
Di pos Pangasinan kami rehat sebentar untuk sarapan. Menu mie
rebus dan sossis instan jadi pengisi energi kami. Di pos ini datar dan dapat
memuat sekira 4-5 tenda. Pemandangan cakrawala biru dan siluet awan di pagi
hari memesona hati.
Dengan semangat baru, hasilnya pukul 09:30 WIB kami sampai di Puncak Panglongokan (3.027 mdpl).
Pemandangannya sungguh memesona. Kawah
kembar dengan dinding batu cadas kokoh berwarna kuning tanah. Pada beberapa
bagian dinding kawah tumbuh kembang Edelwies (Anaphalis javanica) dan Cantigi (Erica sp.). Kembang-kempis kabut yang terjadi tiap beberapa menit membuat
suasana menjadi misterius. Kami seolah disihir. Menembus dimensi lain. Memasuki
portal ruang dan waktu yang berbeda.
Kemudian kami berjalan ke kiri dari puncak Panglongokan. Mengelilingi
setengah kawah hingga sampai di jalur Palutungan. Di sini kami bertemu
rekan-rekan pendaki dari Kuningan. Tidak lupa kami mengabadikan momen-momen di
puncak tertinggi Jawa Barat ini. Narsis.
Tapi dalam hati kami mengakui keagungan Ilahi. Kami merendah di ketinggian.
No comments:
Post a Comment