Jika kita
pergi ke mall atau bahkan ke pasar-pasar tradisional maka dengan mudah akan kita
temukan buah-buahan impor. Sedap dipandang, menggiurkan dan menggugah selera.
Ah sayang, di negeri kaya ini, buah cantik nan menggoda itu kebanyakan buah
impor. Lalu dimanakah buah lokal Indonesia?
Buah impor
Buah impor
kerap dipilih oleh konsumen dengan alasan, tampilannya menarik, pasokannya
terjamin, dan ada standarisasi mutu. Durian montong asal Thailand, jeruk asal Cina, apel, pear, dan
kawan-kawannya sudah menjadi langganan konsumen Indonesia.
Buah impor
kini tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga telah menyerbu ke dalam
hal yang lebih substansial, seperti ritual keagamaan. Di Bali, kini sebagian
warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sesajen dalam upacara.
Menurut I Ketut Sumadi, dosen Institut Hindu Darma, jika mempersembahkan buah
impor, warga merasa sesajinya lebih “berkelas” karena buah impor biasanya lebih
mahal ketimbang buah lokal. (Kompas, 16 Oktober 2011)
Di luar
lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industry makanan dan minuman. Untuk
minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan
bakunya impor.
Buah-buahan
impor yang menjadi bahan baku
industry ini umumnya dihasilkan oleh perkebunan besar, sentuhan teknologi
diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan dan
standarisasi rasa serta bentuk buah bisa didapat. (Kompas, 16 Oktober 2011)
Buah lokal
Potensi plasma
nutfah buah-buahan Indonesia
sangat besar. Dari tujuh spesies buah tropika utama (pisang, jeruk, durian,
nangka, langsat, lengkeng, mangga, rambutan, dan manggis), Indonesia mempunyai lebih dari 6000
sumber plasma nutfah. Seharusnya, dengan kekayaan plasma nutfah tersebut Indonesia
mempunyai varietas/klon buah-buahan yang unggul.
Potensi alam
Indonesia
juga sangat mendukung. Indonesia
mempunyai iklim, lahan, dan altitude yang memungkinkan musim panen dapat
dilakukan berbeda-beda tiap daerah. Sementara potensi lahannya masih cukup
besar sekitar 9,7 juta hektar.
Menurut
jajak pendapat Kompas, masyarakat sebenarnya masih menggemari buah lokal. Dari
446 responden, 74.9 persen responden lebih memilih buah lokal dari pada buah
impor. (Kompas, 16 OKtober 2011)
Sungguh
ironi jika buah-buahan Indonesia-jangankan dikenal di dunia internasional-menjadi
tuan rumah di negeri sendiri saja belum. Padahal, buah-buahan lokal ini bisa
“menang” dalam urusan rasa. Nilai gizinya juga lebih baik karena tidak melalui
penyimpanan lama atau pengawetan yang menurunkan kualitas.
Selain lebih
segar, beberapa buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya
dibandingkan buah subtropics. Kandungan vitamin C dan vitamin A pada buah
mangga lokal, misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.
Semua keadaan
ini sangat terkait dengan mutu buah-buahan Indonesia. Tidak ada jaminan mutu
dan belum diterapkannya manajemen mutu dalam produksi buah-buahan menyebabkan
potensi buah kita menjadi terbengkalai.
Rendahnya
mutu buah lokal ini terkait sangat erat dengan system produksi buah-buahan,
system panen, dan penanganan pasca panen. Sistem produksi buah-buahan di
Indonesia umumnya menggunakan system produksi pekarangan dan agroforestry.
Dimana system jaminan mutu sulit diterapkan. Oleh karena itu, penerapan jaminan
mutu buah-buahan perlu dikembangkan agar dapat diterapkan oleh para petani
buah. Dan manajemen kebun buah yang dapat menjamin penerapan manajemen mutu
perlu dipelajari.
Masalah lain
menurut Roedhy Poerwanto, Guru Besar Hortikultura IPB, adalah system perdagangan
di dalam negeri belum berorientasi pada mutu. Buah-buahan lokal diperdagangkan
tanpa seleksi mutu di tingkat produsen. Dalam pengiriman, buah bermutu baik
dicampur dengan bauh bermutu jelek, daun, ranting, bahkan buah busuk.
Akibatnya, 40-60 persen buah rusak dan harus dibuang.
Untuk
menjadikan buah lokal menjadi tuan di negeri sendiri dapat terwujud apabila
kita membangun supply-chain management
(SCM) yang tangguh. SCM merupakan strategi bisnis yang mengintegrasikan secara
vertikal perusahaan-perusahaan dalam supply
chain (SC) untuk menigkatkan efisiensi dan prestasi keseluruhan anggota SC
agar dapat memenuhi tuntutan konsumen sehingga menjadi satu kesatuan kegiatan
bisnis yang kompetitif.
Mengapa SCM
menjadi penting? Karena, di Indonesia kini tumbuh pasar-pasar modern
(hypermarket, supermarket, minimarket), adanya persaingan dengan produk impor,
adanya tuntutan konsumen terhadap standar keamanan pangan dan mutu produk,
perubahan gaya
hidup dan cara pandang terhadap pangan.
Contoh
penerapan SCM yang berhasil adalah di Taiwan. Petani-petani buah di sana membentuk asosiasi
atau kelompok tani. Mereka melakukan seleksi sendiri. Buah dikemas sesuai
standar, baru ditawarkan ke pasar grosir. Para
tengkulak dipersilahkan membeli di pasar grosir dengan cara lelang dengan
ketentuan yang dibuat asosiasi. Di Indonesia juga ada contohnya, yakni di
Lumajang, Jawa Timur. Mereka adalah petani pisang mas Kirana yang membentuk
Kelompok Tani Sumber Jambe.